
Udayanainsight – Di tengah ramainya perbincangan soal bendera bajak
laut dari anime One Piece yang dikibarkan dalam berbagai aksi dan di
media sosial, Pakar Komunikasi dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi, atau yang akrab disapa Fajarjun,
memberikan analisis mendalam terkait makna simbolik di balik fenomena tersebut.
Mengutip dari Muhammadiyah.or.id Fajarjun menjelaskan bahwa One
Piece bukan sekadar karya hiburan Jepang, melainkan karya budaya populer
yang sarat dengan simbol, ideologi, dan nilai-nilai sosial yang kompleks. Dalam
pandangan semiotik, setiap elemen dalam anime ini mengandung makna lebih dari
sekadar tampilan visual.
“One Piece adalah manga shōnen yang berarti manga yang ditujukan untuk remaja pria, sebenarnya telah lama beredar. Dalam konteks semiotika, bisa dilihat dengan memulai dari tema utamanya: kerja keras, kemenangan, dan persahabatan,” jelas Fajarjun (4/8/2025).
Lebih lanjut, Fajarjun menekankan bahwa pertarungan yang
disajikan dalam One Piece tidak hanya fisik, melainkan sarat akan
pertarungan ideologi. Hal ini memperkuat pesan bahwa nilai-nilai yang diusung
tokoh utama adalah representasi nilai ideal yang patut diperjuangkan dalam
konteks masyarakat yang lebih luas, sedangkan musuh-musuh mereka menjadi
oposisi biner dari nilai-nilai tokoh utamanya.
Selain jalan cerita dan nilai-nilai tokoh utamnya, Fajarjun
menyoroti elemen visual dalam One Piece yang memiliki daya tarik kuat
bagi audiens. Elemen visual seperti desain karakter, pakaian, dan properti
dalam One Piece juga memegang peran penting. Elemen visual pada anime
ini memperkuat narasi dan identitas budaya. Elemen ini, menurut Fajarjun,
adalah hasil dari pilihan estetika yang tidak bisa dipisahkan dari makna
naratif dan sosial.
“Elemen visual menjadi menarik minat audiens dalam One Piece. Tanda visual seperti desain karakter, pakaian, dan properti mendukung pesan cerita dan budaya. Selain berfungsi sebagai bagian penting untuk merepresentasikan budaya dan cerita. Elemen-elemen ini merupakan pilihan estetika yang signifikan,” ujar Fajarjun.
Dalam konteks representasi politik, Fajarjun mengutip hasil
penelitian Thomas Zoth (2011) berjudul The Politics of One Piece: Political
Critique in Oda’s Water Seven. Dalam studi itu, disebutkan bahwa alur Water
Seven merefleksikan hubungan antara individu dan negara, terutama dalam isu
keamanan nasional. Karakter dan ideologi dalam One Piece memperlihatkan
makna pada tingkatan secondary signification, yakni ketika tanda-tanda
visual atau simbolik dalam cerita mencerminkan nilai dan konflik sosial yang
lebih luas.
“alur Water Seven menggunakan karakter untuk mengeksplorasi relasi antara individu dan negara, khususnya dalam hal keamanan nasional. Narasi tersebut menyiratkan bahwa mengorbankan hak individu demi peningkatan keamanan yang dirasakan tidak dapat diterima, dan memberikan perhatian pada sikap kritis terhadap isu-isu politik,” tuturnya.
Atas dasar itu, Fajarjun menilai bahwa ketika fenomena bendera
One Piece digunakan dalam konteks sosial seperti yang terjadi di
Indonesia saat ini, maka hal tersebut dapat dimaknai sebagai simbol identitas
kelompok dalam aktivisme sosial. Fajarjun menjelaskan bahwa simbol semacam itu
memiliki peran penting dalam menyatukan identitas kelompok, sesuai dengan
pandangan sosiolog Alberto Melucci tentang pentingnya simbol dalam gerakan
sosial.
“Ini terlihat dengan warganet yang menggunakan bendera One Piece di status media sosial, profil media sosial, membagikan di media sosial, dan bahkan mendiskusikannya di media sosial. Setelahnya media massa menjadikannya berita, lengkap dengan komentar para pejabat yang acapkali justru malah kontraproduktif bagi pemerintah karena ketidakpahaman,” tutupnya.