Revisi Sejarah Nasional: Proyek Buku Besar dan Polemik Tafsir Masa Lalu

admin
0

 

Udayanainsight – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025, Kementerian Kebudayaan tengah menggarap sebuah proyek ambisius: penulisan Buku Besar Sejarah Indonesia. Dicanangkan sebagai sejarah nasional resmi, buku ini dirancang untuk menjadi rujukan utama dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Namun, sejak awal perancangannya, proyek ini memicu perdebatan luas, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat sipil.


Sebanyak 100 sejarawan dilibatkan dalam proses penyusunan buku yang direncanakan terdiri dari sepuluh jilid, mulai dari sejarah awal Nusantara hingga era Reformasi. Proyek ini dipimpin oleh sejarawan Susanto Zuhdi, yang menekankan pentingnya pembaruan cara pandang terhadap sejarah nasional. Salah satu langkah kontroversial adalah penggantian istilah dan narasi yang selama ini menjadi pakem dalam buku-buku sejarah Indonesia.


Perubahan Istilah dan Narasi Sejarah

Beberapa perubahan signifikan dalam konsep penulisan sejarah tersebut antara lain:


• Penggantian istilah “Zaman Hindu-Buddha” dan “Zaman Islam” menjadi “Indonesia dalam Jaringan Global: India dan Cina” serta “Indonesia dalam Jaringan Global: Timur Tengah”.

• Istilah “prasejarah” diubah menjadi “awal sejarah”, karena dinilai memberi kesan seolah-olah masa sebelum aksara tidak penting.

• Revisi terhadap narasi penjajahan selama 350 tahun, dengan argumen bahwa hingga awal abad ke-20 masih banyak kerajaan di Nusantara yang merdeka.


Namun, tidak semua pihak setuju dengan pendekatan baru ini. Truman Simanjuntak, arkeolog terkemuka, menyatakan pengunduran dirinya dari tim penyusun sebagai bentuk penolakan terhadap penghapusan istilah prasejarah.


Isi Buku dan Kritik Terhadap Penyusunannya

Draf awal Buku Besar Sejarah Indonesia mencakup sepuluh jilid berikut:

1. Sejarah Awal Indonesia dan Asal-usul Masyarakat Nusantara

2. Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina

3. Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah

4. Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi

5. Respons Terhadap Penjajahan

6. Pergerakan Kebangsaan

7. Perang Kemerdekaan Indonesia

8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integritas

9. Orde Baru (1967–1998)

10. Era Reformasi (1999–2024)


Kritik datang dari berbagai arah. Sejarawan M. Refi Omar Ar Razy dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menyebut buku ini "terburu-buru" dan belum cukup inklusif, terutama dalam mengangkat peran perempuan dalam sejarah Indonesia.


“Narasinya masih sangat Indonesia sentris, sangat elite, tidak dekat dengan masyarakat. Sejarah masih digunakan untuk membangun legitimasi,” ujar Refi Omar.


Hal senada juga disuarakan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025. Mereka menilai banyak peristiwa penting yang terlewatkan dari narasi buku ini.


Sejarah Perempuan dan Peristiwa yang Terlupakan

Salah satu catatan penting adalah Kongres Perempuan Indonesia yang digelar pada 22–25 Desember 1928. Kongres ini melahirkan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), cikal bakal gerakan perempuan nasional. Namun, peristiwa ini disebut-sebut tidak mendapat porsi cukup dalam draf buku. Hari pertama kongres perempuan yang berlangsung pada tanggal 22 Desember 1929 inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu.

 

“Suara Rakyat, sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya,” kata Sulistyowati Irianto, Wakil Ketua AKSI.


Papua dan Isu yang Belum Tuntas

Dari Papua, Albert Rumbekwan, seorang sejarawan dan penulis, menyampaikan kekecewaannya karena sejarah Papua hanya sedikit disentuh. Ia meminta agar sejarah Papua pasca-reformasi juga diangkat secara utuh, termasuk isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM dan dinamika politik kultural yang berlangsung hingga kini. Albert berjanji akan menulis sejarah Papua dari kacamata rakyat Papua sendiri.


PRRI dan Catatan Berdarah yang Tersisih

Peristiwa lain yang disebut terlewat adalah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958–1961. Pemberontakan ini menelan lebih dari 22 ribu korban jiwa, namun menurut AKSI, hanya disinggung sekilas dalam narasi besar.


Sejarah untuk Siapa?

Polemik ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa sejarah ditulis? Di tengah upaya negara untuk menyusun narasi besar yang utuh dan sistematis, muncul kebutuhan yang sama kuatnya untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan—perempuan, rakyat biasa, daerah, dan mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan.


Sejarah nasional semestinya bukan monolog negara, melainkan dialog terbuka dengan seluruh warga bangsa. Jika Buku Besar Sejarah Indonesia ingin menjadi warisan abadi, maka ia harus mampu mencerminkan keragaman pengalaman dan luka, serta harapan dari seluruh penjuru negeri.

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)