Udayanainsight — Kebebasan berpendapat kembali mendapat ujian serius di jantung demokrasi dunia, Amerika Serikat. Kolonel Nathan McCormack, perwira militer yang bertugas di Joint Chiefs of Staff (J5), resmi dicopot dari jabatannya setelah mengunggah kritik tajam terhadap kebijakan Israel dan peran Amerika Serikat dalam mendukungnya.
Dalam unggahannya yang beredar luas di media sosial, McCormack menyebut Israel sebagai “death cult” (sekte kematian) dan mempertanyakan mengapa Amerika terus bertindak sebagai “proxy” dari kepentingan Zionis Israel. Ia juga menyoroti penderitaan warga Palestina sebagai konsekuensi dari kebijakan luar negeri yang didominasi oleh kepentingan ideologis.
Tak berselang lama, Pentagon mengonfirmasi bahwa McCormack telah “ditarik” dari posisinya sebagai Kepala Cabang Levant dan Mesir. Penyidikan pun segera dialihkan ke Angkatan Darat AS. “Pernyataan Kolonel McCormack tidak mencerminkan posisi Joint Staff maupun Departemen Pertahanan,” ujar pernyataan resmi Pentagon yang dikutip dari JNS.
Namun langkah cepat pemerintah AS ini justru memicu perdebatan luas. Banyak kalangan melihat pencopotan McCormack bukan hanya sebagai tindakan administratif, melainkan cermin nyata bahwa kritik terhadap Israel — bahkan yang disampaikan oleh pejabat tinggi militer — dianggap sebagai pelanggaran besar yang tak bisa ditoleransi.
“Ini bukan hanya soal disiplin militer. Ini adalah sinyal kuat bahwa siapa pun yang bersuara lantang terhadap agenda Zionis akan dibungkam, bahkan di negeri yang konon menjunjung tinggi kebebasan berekspresi,” ujar seorang analis kebijakan luar negeri yang enggan disebutkan namanya.
Bisu terhadap Ketidakadilan
Kritik McCormack menyoroti fakta yang semakin sulit dibantah: bahwa Amerika Serikat telah menjadi penyokong utama kebijakan militer Israel, termasuk dalam agresi di Gaza dan pendudukan di wilayah Palestina. Kritik serupa sebelumnya juga datang dari sejumlah akademisi, jurnalis, bahkan anggota parlemen progresif, namun semuanya mendapat tekanan politik maupun sosial yang besar.
Apa yang terjadi pada McCormack memperlihatkan bahwa kebebasan berbicara di Amerika memiliki “batas tak kasat mata” ketika menyangkut kritik terhadap Israel dan Zionisme. Padahal, secara konstitusional, warga negara AS — termasuk personel militer — tetap memiliki hak untuk menyampaikan pendapat pribadi mereka, selama tidak membocorkan informasi rahasia atau melanggar keamanan nasional.
Pembungkaman yang Sistematis
Kasus ini menambah deretan panjang upaya sistematis untuk membungkam kritik terhadap Israel. Di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, aktivis pro-Palestina, akademisi, dan bahkan seniman telah menjadi sasaran pembatalan kerja sama, pelarangan bicara di kampus, hingga pencabutan visa.
Kini, seorang kolonel dengan jabatan strategis pun tidak luput dari tekanan tersebut. Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah membela hak-hak Palestina dan mengkritisi kebijakan Israel kini dianggap sebagai bentuk pelanggaran dalam sistem demokrasi Barat?
“Jika seorang perwira tinggi saja tidak bisa menyampaikan pandangannya secara jujur, maka bagaimana kita berharap masyarakat sipil bisa melawan dominasi narasi tunggal tentang Israel?” tanya seorang pengamat HAM yang aktif di gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions).